expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Wednesday 2 April 2014

The Sound and the Fury by William Faulkner

Cover Edisi Terjemahan Bahasa Indonesia


Judul: The Sound and the Fury
Pengarang: William Faulkner
Jenis: Fiksi, Drama Keluarga
ISBN: 978-979-02-4419-1 
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1929 (Edisi Asli) / 2014 (Edisi Terjemahan Indonesia)
Jumlah Halaman: 434++ (Edisi Terjemahan Indonesia)
Harga: Rp 49.000,00



***


Secara garis besar, The Sound and the Fury berkisah tentang keluarga besar Compson, sebuah keluarga kaya raya dan terpandang di Jefferson - Mississippi. Nenek moyang mereka merupakan orang-orang berjasa di Jefferson karena menjadi orang-orang pertama yang membuka lahan di sana dan turut andil pula dalam mempertahankan wilayah tersebut selama Perang Saudara. Singkatnya, keluarga besar Compson dianugerahi dengan kekayaan, memiliki banyak lahan, dan memegang nama besar serta status yang tinggi.

Sayangnya, semua itu hanya berlaku di masa lalu.

Keluarga Compson yang sekarang terlihat mengalami kehancuran terus menerus. Kemunduran kekayaan, jumlah lahan yang masih terselamatkan, serta status sosial yang tidak lagi tinggi sebenarnya sudah terlihat pasca Perang Saudara. Namun, kondisi ini semakin memburuk ketika keluarga Compson dipimpin oleh Mr. Compson yang pemabuk serta Mrs. Compson yang seorang pemurung dan egois. Hidup mereka sepenuhnya bergantung pada Dilsey, seorang pelayan utama di keluarga Compson yang berkulit hitam, yang membesarkan keempat anak keluarga Compson.

Anak pertama bernama Quentin, seorang laki-laki yang perasaannya sangat sensitif dan menderita neurosis.

Anak kedua bernama Caddy, seorang perempuan keras kepala tetapi penuh cinta dan mudah merasa iba.

Anak ketiga bernama Jason, seorang laki-laki yang sangat sulit diatur. Hidupnya sangat bebas, perilakunya kasar, dan keberadaannya cenderung diabaikan oleh anak-anak keluarga Compson lainnya.

Anak keempat bernama Benjamin, alias Benjy. Dia menderita mental retardation parah, tidak mengenal konsep ruang dan waktu, serta tidak memahami batasan-batasan motal.

Berhubung Ibu mereka -- Mrs. Compson -- sangat tidak dapat diharapkan perannya, maka Caddy menjadi figur seorang Ibu dan juga simbol afeksi bagi si sulung Quentin dan si bungsu Benjy. Mrs. Compson hanya mencurahkan afeksinya terhadap Jason.

Quentin meneruskan kuliah di Harvard dan Mrs. Compson menjual banyak lahan peninggalan keluarga mereka untuk mencukupi biaya kuliah Quentin. Ini dilakukan Mrs. Compson sebelum Quentin pindah ke lokasi yang lebih dekat dengan kampusnya.

Saat anak-anak keluarga Compson tumbuh besar, perilaku Caddy mulai berubah. Caddy menjadi seorang gadis yang perilakunya liar. Perubahan perilaku Caddy ini membuat Quentin merasa sangat terluka. Selain itu, Benjy menjadi sangat pemurung dan kerap menangis. 

Perilaku Caddy yang semakin liar membuatnya harus kehilangan keperawanan -- sebuah hal yang sangat tabu dan terlarang bagi keluarga besar Compson. Apalagi, Caddy tidak mampu memberitahu nama Ayah dari janin yang dikandungnya, walaupun kemungkinan besar nama Ayah dari janin tersebut adalah Dalton Ames yang merupakan seorang laki-laki dari kota.

Kehamilan Caddy semakin menghancurkan hati Quentin. Untuk menyelamatkan Caddy, ia mengaku kepada Mr. Compson bahwa dirinya adalah Ayah dari janin yang dikandung oleh Caddy. Dengan kata lain, Quentin membohongi Ayahnya dengan menyatakan bahwa dirinya dan Caddy telah melakukan hubungan incest, hubungan seksual antara keluarga sedarah. Namun, Mr. Compson yang sudah terlalu dikuasai oleh alkohol dan mabuk-mabukan sebenarnya tidak menghiraukan perilaku liar yang ditunjukkan oleh Caddy. Dia bahkan mengacuhkan penjelasan Quentin dan justru menyuruh Quentin untuk mempercepat kepindahannya ke Harvard.

Demi menutupi kehamilannya, Caddy kemudian menikahi Herbert Head, seorang banker yang ditemui Caddy di Indiana. Herbert sempat menjanjikan sebuah posisi menggiurkan bagi Jason di bank, tetapi penawaran ini dibatalkan oleh Herbert saat ia memutuskan untuk segera menceraikan Caddy setelah mengetahui bahwa anak yang dikandung oleh Caddy bukan merupakan anaknya.

Sementara itu, tragedi lain berlanjut ketika Quentin -- yang masih dikuasai keputus-asaan akibat dosa-dosa Caddy -- memutuskan untuk bunuh diri dengan cara menenggelamkan dirinya di Sunga Charles, tepat sebelum tahun pertamanya di Harvard berakhir. Di akhir hayatnya, Quentin sempat berulang kali mengatakan "If I'd just had a mother so I could say Mother, Mother." Pernyataan ini merupakan refleksi tentang bagaimana kerinduannya untuk merasakan kasih sayang dari Mrs. Compson. Sayangnya, Mrs. Compson lebih dikuasai oleh sikap murung, egois, dan perasaan insecure karena nama keluarga yang disandangnya. Kasih sayang yang dicurahkan oleh Caddy membuat hubungan antara Quentin dan Caddy terbentuk dengan kuat, tetapi hubungan ini sebenarnya lebih terbentuk karena mereka berdua sama-sama mengalami penolakan dari keluarga. Quentin menjadi sangat tergantung dengan adiknya ini. Ketergantungan inilah yang membuat Quentin mejadi labil saat melihat perubahan perilaku pada diri Caddy dan akhirnya ia memilih bunuh diri.

Setelah kelahiran anak Caddy, keluarga Compson kemudian memutuskan hubungan keluarga dengannya. Namun mereka mengambil anak Caddy, yang baru lahir dan dipanggil sebagai Miss Quentin, dan pengasuhan Miss Quentin berada di tangan Dilsey.

Mr. Compson meninggal akibat overdosis alkohol, sekitar setahun setelah kematian tragis Quentin. Kematian Quentin dan Mr. Compson membuat kepimpinan keluarga jatuh ke tangan Jason, yang sekarang menjalani kehidupan pahit dengan menjadi pekerja kasar di toko kecil yang memasok hasil pertanian lokal.

Penghasilan Jason yang tidak seberapa, ditambah dengan sifatnya yang memuja uang, membuat Jason sering menggelapkan uang yang dikirim Caddy sebagai tambahan biaya pengasuhan Miss Quentin.

Miss Quentin sendiri tumbuh sebagai gadis yang tidak pernah merasa bahagia. Dirinya dikuasai oleh perilaku memberontak. Miss Quentin juga selalu berkonflik dengan pamannya, Jason, yang dianggap sombong dan kejam.

Tepat pada hari Minggu Paskah di tahun 1928, Miss Quentin mencuri uang milik Jason dan memilih kabur bersama laki-laki yang ditemuinya di pertunjukan keliling. Jason yang panik kemudian mencari Miss Quentin ke sana-sini tanpa hasil, sementara Dilsey mengajak anggota keluarganya serta Benjy untuk melakukan pelayanan Paskah di gereja terdekat.


***


Kisah di dalam buku The Sound and the Fury terbagi ke dalam empat bagian utama, dengan narasi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Benang merah semuanya berputar pada bagaimana tiga bersaudara Compsong mengenang Caddy, saudari mereka. Di kisah ini, kenangan-kenangan mengenai Caddy ini menjadi titik temu tentang bagaimana keluarga Compson terus mengalami kemunduran dan benar-benar kehilangan masa kejayaan setelah tragedi-tragedi yang terjadi. Apesnya, semuan kejadian buruk itu melibatkan Caddy.


Bagian pertama dinarasikan oleh Benjy, dengan latar belakang waktu di bulan April tahun 1928. Kisah diawali pada hari sebelum Paskah 1928, tanggal 7 April 1928, di mana Benjy berulang tahun yang ke-33 tahun.

Alur di bagian ini sebenarnya maju mundur. Rentang waktunya cukup luas. Hanya saja tidak secara jelas dikisahkan oleh Benjy, sehingga membaca bagian ini pasti akan terasa membingungkan.

Rentang waktu ini berputar saat Benjy mengingat tentang Natal tahun 1902, saat ia masih berusia 7 tahun dan mendengar pertengkaran antara Mrs. Compson dan Paman Maury di dalam rumah. Kemudian kembali lagi ke kejadian yang sedang dialaminya di bulan April 1928.

Tidak lama, mundur ke ingatan Benjy antara tahun 1912-1913, di mana Benjy dan Mrs. Compson mengunjungi makam sementara Quentin dan Mr. Compson memilih beristirahat saja. Lalu, kembali ke kejadian April 1928.

Tiba-tiba ingatan Benjy melayang ke kejadian tahun 1902 lagi, saat dia dan Caddy mengirimkan surat cinta Paman Maury kepada Mrs. Patterson -- wanita yang tinggal di sebelah rumah dan menjalin affair dengan Paman Maury. Ingatan ini pun bercampur dengan ingatan lainnya, ketika Benjy mengirim surat cinta sendirian dan diketahui oleh Mr. Patterson. Lalu, Mrs. Patterson yang panik segera berlari ke arah Benjy dan kedatangan Mrs. Patterson yang tiba-tiba ini membuat Benjy terkejut. Kejanggalan ini pula yang akhirnya membuat Mr. Patterson menyadari adanya affair antara isterinya dengan Paman Maury.

Saat Benjy kembali lagi ke kegiatannya di masa sekarang, April 1928, ia teringat lagi dengan kejadian tahun 1898, di mana nenek Benjy yang bernama Damuddy meninggal dunia. Ketika itu Benjy masih berusia sekitar 3 tahun dan disability yang dideritanya belum diketahui. Selama proses pemakaman berlangsung, Benjy dan kakak-kakaknya bermain bersama hingga pakaian Caddy menjadi basah. Saat mereka di perjalanan pulang dan Quentin serta Caddy khawatir jika Jason mengadukan pakaian Caddy yang basah kepada orangtua mereka, mereka melihat Roskus menyusui seekor sapi di sebuah lumbung. Ingatan ini memancing ingatan Benjy untuk melayang ke kejadian di tahun 1910 saat Caddy menikah dan ingatan lain saat Benjy mengingat kejadian di pernikahan Caddy ini memancing kembali ingatan Benjy di tahun 1898. Selanjutnya, ingatan di tahun 1898 ini memancing lagi ingatan Benjy tentang kejadian di tahun 1910 dan 1912.

Perlahan, narasi Benjy kembali ke April 1928. Tetapi, kejadian ini memancing ingatan-ingatan Benjy tentang kejadian-kejadian lama yang terkait dengan kematian. Ingatannya melayang antara kejadian di pagi hari saat kematian Camuddy tahun 1898, kematian Mr. Compson di tahun 1912, dan tidak lama kembali lagi ke hari kematian Camuddy di mana ingatan Benjy melayang ke kejadiannya bersama Caddy.

Kejadian bersama Caddy ini membuat Benjy kembali ke kejadian yang menimpanya di hari pernikahan Caddy pada tahun 1910 tadi. Ia mengingat pula kejadian di tahun 1905 saat itu merasa sangat terganggu dengan wangi parfum yang digunakan oleh Caddy. Wangi parfum tersebut seperti wangi pepohonan dan ini kembali mengingatkan Benjy pada kejadian 1898, saat Caddy memanjat pohon untuk mengintip aktivitas orang dewasa yang sibuk selama proses pemakaman Camuddy. Dilsey yang melihat Caddy dan Benjy kemudian memarahi mereka karena berada di luar kamar saat sudah waktunya untuk tidur.

Kejadian Dilsey yang memarahi dirinya dan Caddy ini membuat Benjy kembali ke April 1928. Benjy, yang masih terus ditemani oleh Luster (cucu Dilsey yang bertugas mengawasi Benjy), diingatkan oleh Luster untuk tidak menghampiri sisi lain dari rumah karena di sana sedang ada Miss Quentin bersama pacarnya yang disebut sebagai si laki-laki berdasi merah. Seruan dari Luster membuat Benjy teringat dengan kejadian bertahun-tahun yang lalu saat ia memergoki Caddy yang sedang berciuman dengan Charlie, laki-laki yang melamar Caddy pertama kali, di sisi rumah yang sama dengan tempat Miss Quentin dan pacarnya sekarang berada. Ingatan barusan memancing Benjy untuk mendekati Miss Quentin dan mengganggu ciuman antara Miss Quentin dan pacarnya tadi. Miss Quentin marah kepada Luster dan kembali ke dalam rumah, sementara Luster dan Benjy berjalan ke arah pagar dan melihat serombongan anak sekolah yang lewat di depan pagar.

Anak-anak sekolah tersebut mengingatkan Benjy tentang kejadian di tahun 1910, saat Benjy melihat serombongan gadis yang melewati depan pagar. Saat melihat mereka, Benjy segera lari dan membuka pagar, serta menakuti gadis-gadis tadi. Rupanya, Benjy ingin menyampaikan kepada mereka tentang seberapa besar ia merindukan Caddy, caranya dengan mendekati salah satu dari gadis-gadis itu. Tentu saja, gadis yang didekati oleh Benjy berteriak ketakutan. Saat Ayah gadis ini mengetahui perbuatan Benjy, akhirnya Benjy dihajar olehnya. Pada malam harinya, Mr. Compson dan Jason berpikir untuk mengkebiri Benjy sebagai upaya pencegahan terhadap hal yang tidak menyenangkan yang mungkin menimpa gadis-gadis yang diserang oleh Benjy tanpa terduga.

Saat kesadaran Benjy kembali ke April 1928, Luster dimarahi oleh Dilsey karena mengira Benjy menangis akibat ulahnya. Padahal sebenarnya Benjy menangis karena baru saja teringat tentang sesuatu mengenai Caddy. Benjy kemudian duduk di dekat perapian, di mana ia teringat lagi dengan Caddy. Ingatan Benjy menghilang dan ia kembali ke kondisi sekarang ketika Dilsey menyalakan lilin di atas kue ulang tahun Benjy. Luster dan Benjy pun memakan kue ulang tahun yang sudah disiapkan itu. Tidak lama, Benjy meletakkan tangannya di perapian dan membuat tangannya terbakar. Benjy pun menangis. Tangisan ini membuat marah Mrs. Compson yang mengeluh sedang sakit dan sulit beristirahat karena Benjy selalu saja membuat keributan. Luster pun menenangkan Benjy dengan membawanya ke perpustakaan.

Perpustakaan menyebabkan ingatan Benjy kembali ke kejadian lain yang ia lalui bersama Caddy di tahun 1900, saat Benjy masih berusia 5 tahun. Caddy sedang berusaha menenangkan Benjy, namun usaha Caddy membuatnya dimarahi oleh Mrs. Compson yang mengomel dan mengatakan bahwa Benjy sudah cukup besar untuk mengurus dirinya sendiri. Caddy lalu mengizinkan Benjy untuk bermain dengan mainan miliknya, yang membuat Caddy kembali dimarahi Mrs. Compson karena Caddy dianggap terlalu memanjakan Benjy. Jason merobek boneka kertas Caddy yang dimainkan oleh Benjy, sehingga Caddy dan Jason bertengkar hebat.

Begitu kembali ke April 1928, Benjy masih saja membuat keributan di perpustakaan. Jason yang memasuki perpustakaan, jelas-jelas menunjukkan kejengkelannya terhadap Benjy. Miss Quentin juga ikut memasuki perpustakaan dan masih merasa geram karena tadi Luster membiarkan Benjy merusak momen dirinya yang sedang bersama si pacar. Untungnya, tidak lama kemudian terdengar suara Dilsey memanggil seluruh anggota keluarga untuk makan malam.

Ingatan Benjy melayang lagi, kali ini ke sekitar tahun 1909, saat Caddy pergi berkencan dan kehilangan keperawanannya. Saat Caddy pulang kencan, Benjy menangis dengan keras saat melihat Caddy. Hal ini membuat Caddy merasa malu dan langsung masuk kamar untuk menghindari Benjy, dan Benjy pun merasa sangat marah kepada Caddy.

Kembali ke masa kini. Selama makan malam, Miss Quentin mengaku bahwa ia tidak suka tinggal di kediaman keluarga Compson. Jason dan Miss Quentin terus saja bertengkar dan saling berpendapat, bahkan usia Dilsey untuk menengahi mereka tidak berhasil. Benjy lalu berlari ke salah satu ruangan kosong. Di sana, ia dan Luster melihat Miss Quentin kabur dengan melompati jendela kamarnya.

Setelah melihat kejadian Miss Quentin, ingatan Benjy melayang ke tahun 1898 saat Camuddy meninggal dan Caddy membasahi pakaiannya hingga membuat pakaian dalamnya kotor. Pada malam harinya, Dilsey menyuruh seluruh anak keluarga Compson untuk segera tidur. Saat itu, Caddy masih kotor namun Dilsey sudah tidak memiliki cukup waktu untuk memandikan Caddy. Caddy lalu bertanya mengenai kondisi Mrs. Compson kepada Mr. Compson. Ia khawatir jika Ibunya itu sakit, tetapi ternyata tidak. Di ingatan Benjy, ia dipeluk oleh Caddy saat mereka tertidur.


Bagian kedua dinarasikan oleh Quentin yang sedang melakukan refleksi terhadap hidupnya, tepat di hari ketika ia memutuskan untuk bunuh diri di bulan Juni tahun 1910.

Bagian kedua ini benar-benar menggambarkan seorang Quentin, di mana ia memiliki banyak harapan terhadap kehidupan yang dijalaninya hingga saat itu. Saya tidak akan banyak bercerita di sini karena bagian kedua tidak kompleks seperti bagian pertama.


Bagian ketiga dinarasikan oleh Jason dengan latar belakang waktu pada tanggal 6 April 1928, sehari sebelum Miss Quentin kabur dari rumah. Bagian ini banyak menjawab hal-hal yang kurang jelas di bagian pertama dan kedua.

Jason digambarkan penuh kebencian, cenderung sadis, dan hidupnya sangat dipenuhi oleh kegetiran. Di sini kita dapat merasakan bahwa Jason merupakan seseorang yang emotionless. Melalui narasi dari sudut pandangnya, akhirnya kita benar-benar mengetahui bahwa Benjy dikebiri setelah kejadian ia menakuti anak gadis yang lewat di depan pagar rumahnya itu. Kita juga mengetahui kejelasan bahwa Quentin bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya sendiri, serta bahwa Caddy memang diceraikan oleh suaminya. Semua gambaran ini diceritakan dengan gamblang, tidak lagi samar-samar seperti di narasi Benjy dan Quentin, yang mengukuhkan pandangan saya bahwa Jason sangat kejam, terutama sejak ia menjadi pemimpian di keluarga Compson setelah Ayahnya meninggal overdosis alkohol.

Dibandingkan anak keluarga Compson lainnya, Jason merupakan anak yang paling pintar. Sayangnya, ia tidak memiliki talenta yang cukup untuk menggunakan kepintarannya itu dengan baik. Dia hanya mampu menyalahkan orang lain dan memposisikan dirinya sebagai korban, bahkan lebih banyak menyalahkan Caddy atas segala kemalangan yang menimpanya. Ditambah lagi, Jason hanya bekerja sebagai pekerja kasar rendahan dan gagal mendapatkan posisi menggiurkan di bank setelah Caddy diceraikan oleh Herbert. Fakta ini dirasakan semakin memalukan bagi Jason karena ia dibayang-bayangi oleh kejayaan masa lalu keluarga besarnya, di mana sang kakek merupakan seorang Jenderal di masa Perang Saudara dan kakek buyutnya merupakan Gubernur Mississippi.


Bagian keempat dinarasikan oleh Faulkner, melalui sudut pandang Dilsey, dengan latar belakang waktu pada tanggal 8 April 1928 atau pada pagi hari setelah Miss Quentin kabur dari rumah. Di sini semakin jelas tergambarkan bahwa kehancuran keluarga Compson secara keseluruhan benar-benar terjadi ketika Miss Quentin kabur dari rumah.



***






Willian Faulkner adalah seorang penulis Amerika dan juga pemenang Nobel. Karya-karyanya banyak berupa novel, cerita pendek, kumpulan puisi, maupun esai. Karya dirinya mulai banyak dilirik orang pada tahun 1949 ketika ia memenangkan penghargaan Nobel Prize in Literature.

Karya-karyanya antara lain The Sound and the Fury (1929), As I Lay (1930), Light in August (1932), Absalom, Absalom! (1936), serta Moses (1942). Dua karya lainnya, yaitu A Fable (1954) serta buku terakhirnya The Reivers (1962) memenangkan penghargaan Pulitzer Prize for Fiction.

The Reivers diterbitkan pada bulan Juni 1962 dan langsung memperoleh penghargaan Pulitzer tadi. Sebulan kemudian, tepatnya pada tanggal 6 Juli 1962, William Faulkner meninggal dunia.

Khusus untuk novel The Sound and the Fury ini, Faulkner membuat dirinya menulis dengan cara yang berbeda dibandingkan kebanyakan karya sebelumnya. Hasilnya tidak sia-sia. The Sound and the Fury bahkan masih banyak dikaji di dalam pembahasan karya sastra klasik dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di seluruh dunia.

Gaya dan isi cerita di dalam The Sound and the Fury disebut sebagai sebuah hasil revolusioner di dalam karya sastra klasik dunia, sangat kaya untuk dieksplorasi dan dianalisa,

Salah satu analisa yang banyak dibahas oleh para reviewer The Sound and the Fury di luar negeri, dan karena analisa mereka saya jadi sempat membaca ulang buku Macbeth karya Shakespeare yang lama tergeletak di rak buku tanpa disentuh. Ternyata judul The Sound and the Fury ini diperoleh Faulkner dari hasil menganalisa Macbeth.

Macbeth sendiri merupakan sebuah kisah tentang seorang Jenderal dan bangsawan Skotlandia, dan kemudian menjadi Raja Skotlandia, yang bernama Macbeth. Suatu hari, isteri Macbeth bunuh diri. Sejak saat itu, Macbeth merasa hidupnya menjadi kacau.

Contoh benang merah antara Macbeth dan The Sound and the Fury ini dapat dilihat di scene 5.5.18-5.5.20 (halaman 79-80 untuk buku Macbeth terbitan Wordsworth Classic tahun 1992).

There would have been a time for such a word.
To-morrow, and to-morrow, and to-morrow,
Creeps in this pretty pace from day to day,
To the last syllable of recorded time;
And all our yesterdays have lighted fools
The way the dusty death. Out, out, brief candle!
Life's but a walking shadow, a poor player
That struts and frets his hour upon the stage,
And then is heard no more: it is a tale
Told by an idiot, full of sound and fury,
Signifying nothing


Macbeth mengesankan tentang sebuah hidup yang dikisahkan oleh seorang idiot -- life as a tale told by an idiot. Bagian pertama di buku ini, secara literal, memang dibuka oleh narasi dari Benjy yang menderita mental retardation.

Selain itu, narasi dari Quentin serta narasi dari tokoh lainnya yang juga banyak menceritakan tentang bagaimana keluarga Compson -- pasca tragedi Caddy -- menyatakan bahwa keluarga Compson mengalami kemunduran total. Padahal sebelumnya kehidupan keluarga mereka berada di puncak kejayaan. Paling tidak, masa-masa di mana Caddy masih berkelakuan baik dan terhormat merupakan masa kejayaan bagi hidup Quentin.

Perasaan negatif yang diderita Quentin sejak menyadari rasa sayangnya terhadap Caddy, perasaan putus asa dan sakit hati saat mengetahui kehamilan Caddy serta dosa-dosa Caddy lainnya, serta bagaimana kehidupan keluarga mereka menjadi hancur -- membuat Quentin akhirnya dikuasai dan dihantui oleh perasaan-perasaan negatif yang semakin mendalam, dan akhirnya memutuskan bunuh diri.

Kondisi Quentin ini mengadaptasi kondisi yang menghinggapi Macbeth pasca kehilangan isterinya akibat bunuh diri itu. Kematian isteri Macbeth, yang dianalogikan sebagai "dusty death" direpresentasikan melalui narasi di mana Macbeth mengalami ketiadaan dan penurunan kondisi hidup. Semua kondisi ini mengindikasikan ratapan Macbeth yang berarti bahwa hidup tidak memiliki dampak dan makna apapun.

Faulkner menganalisa pula bahwa kisah Macbeth -- yang dibayang-bayangi oleh masa lalu dan akhirnya membuat kehidupannya di masa kini menjadi tidak bermakna -- mengindikasikan bahwa sesungguhnya kita tidak akan mampu meraih apapun kejayaan yang pernah kita rasakan di masa lalu. Ide dasar inilah yang dipakai oleh Faulkner.

Menurutnya, apabila orang tidak mampu move on pasca keruntuhan kejayaaan di masa hidupnya, maka orang tersebut akan berakhir seperti narasi kisah Quentin yang memilih bunuh diri -- menghabisi hidupnya sendiri karena menganggap dunianya adalah Caddy dan tanpa Caddy hidup tidak akan ada artinya ATAU berakhir seperti Jason yang berubah menjadi sangat sinis dan materialistis ATAU menjadi seperti seorang idiot seperti Benjy yang menganggap hidup tidak lebih sebagai sebuah serial berisi cuplikan gambar, suara, dan ingatan tertentu.

Well...

Tentunya interpretasi Faulkner tentang orang yang berakhir menjadi "Benjy" hanya berupa interpretasi sarkas saja. Analogi. Perumpaan serupa dengan orang-orang yang seolah mengalami "post-power syndrome" dan tidak mampu menghadapi masa-masa keruntuhan "power" (dalam makna luas) dan berakhir menjadi idiot. Bukan idiot dalam makna mentally retarded seperti kasus Benjy, melainkan idiot dalam makna yang sesungguhnya -- yang tidak lagi mampu untuk menghadapi kehidupan.


***


The Sound and the Fury pernah dibuat film layar lebarnya pada tahun 1959.




Video di atas hanya bagian pertama dari 12 bagian film The Sound and the Fury yang ada di youtube. Saya sendiri, lagi-lagi, menonton film versi tahun 1959 ini dengan bermodalkan pinjam punya orang... 

*tutup muka*

Pemeran di dalam film ini antara lain Yul Brynner (Jason), Joanne Woodward (Quentin), Margaret Leighton (Caddy), Jack Warden (Benjy), dan Ethel Waters (Dilsey).

Di tahun 2000 ada lagi film layar lebar berjudul Sound and Fury. 

Eits!
Film yang tahun 2000 ini bukan adaptasi karya Faulkner ya...

Bagi penggemar James Franco... Kyaaa~

Tahun 2013 lalu, saya pernah membaca berita online yang menyatakan bahwa James Franco sedang menggarap script untuk adaptasi The Sound and the Fury. Saat itu belum disebutkan apa lagi peran Franco untuk film adaptasi yang katanya akan keluar tahun 2014. Saya juga tidak pernah update informasi terkini tentang berita ini lagi, jadi belum tahu apakah adaptasi versi 2014 jadi atau tidak. Saya sih berharap jadi...


***


The Sound and the Fury juga memiliki versi audio book. Saya berusaha memasukkan video dari youtube ke sini, tapi sepertinya tidak bisa (no video found). Tidak seperti saat saya memasukkan audio book untuk The Secret Garden.

Jadi, di sini saya hanya memberikan link untuk playlist 7 bagian audio book The Sound and the Fury

Total ada lebih dari 8 jam untuk mendengarkan versi audio book. Jadi, bagi kalian yang tidak terlalu senang mendengarkan audio book, seperti saya, lebih baik membaca versi ebook atau epub yang bertebaran di google. Tinggal download dan kalian bisa puas membacanya melalui gadget.

Kalau mau lebih bermodal, bisa juga membeli versi terjemahan bahasa Indonesia di toko buku manapun. Buku The Sound and the Fury versi terjemahan baru muncul di Indonesia tahun 2014. Tepatnya di bulan Januari lalu. Jadi pasti masih banyak sekali stok buku ini.

Harganya cukup murah untuk standar buku baru saat ini, apalagi bukunya bukan buku kecil dan cukup tebal dengan lebih dari 400 halaman, yaitu seharga Rp 49.000,00 di Gramedia. Di toko buku lain pasti dihargai lebih murah lagi!

Jika beruntung, kalian akan menemukan versi berbahasa Inggris, seperti yang pernah saya pinjam dari orang lain saat saya pertama kali membaca buku ini, dan masih menjadi obsesi saya untuk membeli versi bahasa Inggrisnya karena lebih memiliki nilai historis bagi saya, hehehe.



***


Terus terang, untuk dapat menyelesaikan The Sound and the Fury bukanlah hal yang mudah. Saya harus memusatkan perhatian, berkonsentrasi penuh saat membaca karya Faulkner yang ini.

Kisah tentang keluarga Compson, terutama tentang tiga bersaudara yang seolah terobsesi pada kisah tentang saudara perempuan mereka, terkesan sederhana. Khas drama keluarga biasa. Namun sebenarnya lebih dari itu.

Membaca setiap halamannya susah payah saya jalani. Apalagi saat harus menghabiskan bab yang berkisah dari sudut padang Benjy, ini huwow syekali!! 

Ternyata saya tidak sendiri!

Jika mencoba membaca banyak review yang bertebaran di luar sana, sebagian besar reviewer mengalami hal yang sama dengan saya hahaha. Kami semua membutuhkan kesabaran untuk mampu menginterpretasikan setiap kisah dari empat sudut pandang dengan benar, baru kemudian bisa memahami keseluruhan kisah di dalam The Sound and the Fury dengan benar pula.

Dulu, sekitar tahun 2000an awal, saya mengulang membaca hingga dua kali untuk sepenuhnya memahami isi buku ini, dengan bermodalkan meminjam buku edisi pertama berbahasa Inggris milik orang lain tadi.

Dari keempat bagian di dalam kisah The Sound and the Fury, bagian yang paling menantang untuk dipahami adalah bagian pertama, dari sudut pandang Benjy tadi. Penyebabnya, Benjy ini dikisahkan sebagai orang yang mentally retarded. Jadi, banyak konsep yang dibiarkan untuk dikisahkan dari sudut pandang orang berusia 33 tahun dan mentally retarded.

Misalnya, pikiran Benjy sangat subjektif dan ini mempengaruhi ketika ia menggambarkan ingatan-ingatan kejadian di masa lalu. Dari sudut pandang Benjy, semua kejadian baik di masa lalu maupun masa kini tidak mampu ia jelaskan dengan benar. Inilah yang menjadikan narasi dari sudut pandang Benjy menjadi tidak jelas konsep waktunya, seolah semuanya memang terjadi di tanggal 7 April 1928, pada hari ulang tahunnya yang ke-33 itu.

Banyak lagi konsep abstrak yang tidak dipahami oleh Benjy. Misalnya, ia tidak memahami tentang kelahiran, kematian, keluarga, pernikahan, dan sebagainya. Hal ini yang membuat interpretasi terhadap beragam kejadian yang diingat Benjy pada tanggal 7 April 1928 dianggap Benjy sama dengan kejadian yang sedang ia alami di hari ulang tahunnya.

Saya membandingkan kesan ketika membaca bagian Benjy ini sama dengan ketika saya harus membaca Lampuki karya Arafat Nur. Butuh konsentrasi tingkat tinggi untuk dapat mencerna dengan baik isi ceritanya. Sama-sama membutuhkan effort supaya saya tidak langsung tertidur saat baru membaca kalimat pertama. Halah. Bedanya, bagian Benjy karena dari sudut pandang dia sebagai orang yang mentally retarded, sementara Lampuki karena bahasanya bagi saya terlalu berbunga-bunga.

Overal 5/5 dari saya.

Faulkner -- melalui kisah yang disampaikan oleh Benjy, Quentin, Jason, dan Dilsey -- sukses mengacak-acak otak saya. Tapi, yang paling penting adalah Faulkner mampu membuat saya berkonsentrasi penuh dan memusatkan perhatian dengan baik, bahkan mengalahkan konsentrasi saya saat harus belajar.

Keren!
Hahaha~

The Sound and the Fury juga merupakan karya pertama Faulkner yang saya baca. Saking jiper-nya pengalaman membaca ini pertama kali dulu, saya sempat memutuskan untuk tidak mau membaca karya Faulkner lainnya. Baru tahun 2010 saya mau membaca lagi buku Faulkner yang lain.

Whoopps!

Saya belum memutuskan untuk membaca yang edisi terjemahan. Konon, penerjemahannya kurang baik, jadi saya masih merasa sayang jika harus membeli yang edisi terjemahan ini.

Oh iya, jangan lupa tonton versi adaptasi film 1959. Adaptasinya bagus!



Updated:
Akhirnya saya membaca edisi terjemahannya hahaha. Selama beberapa bulan belakangan ini saya penasaran sekali dengan edisi terjemahan ini, jadi ya sudah saya beli. Memang terasa sedikit membingungkan ketika membacanya. Tetapi, (mungkin) karena saya sudah pernah membaca edisi yang berbahasa Inggris, jadi membaca edisi terjemahan tidak terlalu bingung seperti yang dialami oleh beberapa teman. Edisi terjemahannya sebenarnya bagi saya cukup baik, seperti yang saya bayangkan. Mungkin karena banyak dari kita yang tidak terbiasa dengan alur serupa (terutama penuturan kisah ala Benjy), jadi sulit mengikuti ceritanya. Mungkin ya...



Have a blessed day!